-->

Kumpulan Cerpen Sastra



KUMPULAN CERPEN SASTAR
Pada Postingan saya kali ini akan membahas tentang cerpen sastra untuk bahan pembelajaran

Ayah
Cerpen Karangan: Luthfi
Kategori: 
Cerpen KeluargaCerpen Sastra

Hujan dan bulan.
Rumah selalu jadi tempat untuk menepi.
Namun kini hanya ada atap dan ruang yang sunyi. Tempat yang mengerikan.
Aku hanya tau sedikit kebahagiaan di dunia ini dan karenanya aku tercekik nelangsa.
Satu hal yang kupahami hanya aku yang tidak terpahat sempurna untuk bersamamu.
Aku mendapatkannya dari terpaan angin dan kamu.
Aku berbentuk seperti kelambu. Kamu harus melihat lebih teliti untuk tau apa yang bersemayam di dalamnya.
Untuk itu pintuku selalu terbuka.
Sampai akhirnya hujan tidak lagi menggenangkan lirih, aku akan tetap kosong.
Begitu kiranya aku menantikanmu. Sampai aku tak menikmati keceriaan dari pantulan pijar di penghujung tahun. Harus ada kamu. hal yang selalu kupaksakan. Aku bukan hidup untuk terus berlayar, maka jangan menghindar. Jangan habiskan aku untuk egomu karena aku takut hilang.
Sudah pukul berapa ini. jangan biarkan aku untuk tidak memiliki hari yang baru karena waktuku terhenti saat kamu pergi. baik, satu cangkir lagi. Aku rasa ini akan jadi cangkir terakhir karena tubuhku sudah mulai lelah. Saat ini aku memikirkanmu. Bagaimana telah kuberikan seluruhnya untuk kamu. cintaku yang kukorbankan karena percaya akan ada cinta yang lebih besar darimu. Memang aku menangis. Menangis karena aku tidak bisa menggantikan dia yang bertaruh untuk kamu. Aku tidak lagi bisa lari dengan apa yang ada di cangkir ini. Tubuhku sudah tidak kuat. Jadi kembalilah. Ambil bagianmu dalam yang telah diberikannya.
Aku mendengar deru mobil yang terhenti. Aku segera bergegas menelisik dari sudur jendela. Setelah 15 menit kamu turun. 15 menit yang sangat menyiksa. Melenggang dalam hujan dengan gaun merah yang menawan. Kamu cantik mengenakannya. Sayang aku tidak bisa melihatnya untuk waktu yang lama. Sesekali kamu berbalik dan melambaikan tangan kemudian kamu sadar sudah saatnya kembali
“aku pulang pa.”
“cepat mandi. Nanti sakit.”
“iya ini mandi kok.”
Aku kembali meneguk. Menghela nafas yang menghilangkan kecemasanku. Aku selalu cemburu pada setiap laki-laki yang bisa menghabiskan banyak waktu denganmu. Kamu saja yang tidak tau. Atau tidak mau tau. Meski aku hanya bayangan yang usang dalam pikiranmu tapi aku selalu mengharapkanmu. Jika ada sedikit waktumu nak, Bapak juga ingin seperti lelaki tadi karena Bapak hanya punya kamu.

Can You Stand The Rain?
Cerpen Karangan: Afief Rahmat Hudiyawan
Kategori: 
Cerpen SastraCerpen Slice Of Life


Hujan kali ini menjadi kambing hitam atas sepinya kedai kopi yang telah sering aku kunjungi. Hujan yang datang sedari sore tadi memalaskan lalu lalang yang mendadak sepi. Derasnya air yang turun jatuh ke kanopi teras kedai menambah riuhnya kedai yang tak lagi penuh terisi. Kopiku yang telah terhidang panas kini menjadi dingin terkalahkan hawa dingin yang tanpa halangan merasuki ruangan yang tak lebih besar dari sebuah garasi.
Seorang barista muda terbaring merebahkan diri di atas sofa di salah satu sudut kedai. Terlihat letih akan rutinitasnya tiap hari, merebahkan diri selepas cangkir kopiku telah tertata rapi di atas meja ini. Lagu sendu dari penyanyi yang pilu terputar di tengah riuhnya hujan yang tak tahu sampai kapan akan berhenti. Terciptakan kolaborasi suara lagu merdu dengan suara alam yang terdengar semakin menyatu, mengisi waktu.
Sepi, kata yang terus menggaung bersama dengan berhentinya lagu, polusi suara yang berubah senyap begitu saja, hanya dengkuran lirih dari pria muda yang melepas letihnya. Suara ketikan yang semakin mengeras terdengar menyambut catatan baru, mencatat kenangan seperti yang biasa aku dapati ketika di dalam sebuah kedai kopi. Kata perkata berbaris menjadi kalimat, kalimat demi kalimat menyatu menjadi paragraf, dan paragraf demi paragraf tersusun hingga aku bosan untuk mengingat kembali masa lalu.
Catatanku memang penuh dengan ingatan samar masa lalu, ingatan tentang remaja yang baru menyambut perasaan baru, berubah pemuda yang menangis haru di balik pintu, hingga seorang pria yang menghela nafas kemudian berlalu. Kemudian mencatatnya untuk terbaca oleh orang yang tak ingin tahu. Sedikit melegakan untuk menyambut hal-hal yang baru, hingga aku benar-benar bosan mengingat-ingat masa lalu.
Hujan selalu seperti itu, derasnya membuat orang malas untuk beranjak dari nyamanya, rintiknya menggiring kita menyelami masa terdahulu, jendela kaca menjadi tempat tatapan kosong lamunan khayalan yang tak pernah terucapkan. Hujan memunculkan rindu, entah tentang apa kita merindu, tapi perasaan itu ada, hingga aroma khas tanah basah mengering tersipu malu.




Surat Kala Hujan
Cerpen Karangan: Faiz Arteta
Kategori: 
Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 22 August 2017
Sembari aku menunggu hujan. Aku memandang tragedi kenangan. Mataku ini bukan lagi seperti saat pertama kau hadir dalam ambang kehidupan. Binarnya mulai terbias akibat kilaun luka yang kau buat. Curahan hatiku tergambar jelas seperti derasnya hujan. Geraman hatiku sudah tak kuasa menahan jeritan yang meronta-ronta ingin keluar.
Hai kau!? Tuhan tidaklah pelit dalam hal memberi kebahagiaan. Apakah kamu tahu bahagia itu? Memang benar. Jika kau mengingkan hal yang lebih, suatu saat pasti akan ada hal yang lebih. Pun jika kau menginkan hal yang sempurna, kau akan mendapatkan hal itu.
Tapi kau tahu? Kau tak akan mendapatkan apa itu bahagia. Rasa syukur adalah cerminan wujud dari yang namanya kebahagiaan. Hatiku tak mampu lagi bertanya!? Aku tak bisa memahami dari arti bahagia yang hinggap dalam obsesi hidupmu sampai sekarang!
Apakah kau tak mengerti apa yang diartikan rasa belas kasih? Atau hanya sekedar tentang perasaan tenggang rasa terhadap sesama? Sungguh. Rasa itu sekarang sudah tak lagi ada. Hatimu sekarang nanar kosong. Saat pikiranmu mulai memikirkan tentang gumilar keindahan. Keindahan satu yang terpampang jelas di matamu tak lagi kau hiraukan. Kau abaikan lewat, enyah begitu saja. Pun matamu sudah tertutup oleh kilauan itu membuat hatimu membeku kaku. Kau memang berhak memilih!? Tapi kau tak berhak memilah!
Hatimu sudah beku sangat kaku. Mengkristal akibat setiap dengungan dari tutur lisanmu. Kerikil Tuhan yang berniat menghentikanmu malah kau lemparkan balik. Kau malah melawanya bersikukuh dengan cara sudut pandangmu yang berbeda.
Kau termakan oleh kata-katamu. Belati itu menghujam balik tubuhmu sendiri. Menyerang kata-kata yang kau tuturkan seperti tak mengenal akan balasan Tuhan. Kata-katamu tak sanggup menahan balasan karma yang diberikan langsung oleh tangan Tuhan.
Lukamu semakin menyayat lantaran diserang garam kehidupan yang meronta secara membabibuta.
Hai kau!? Jika saja hatiku sekeras layaknya milikmu. Mungkin saja aku sudah terbahak-bahak melampiaskan di derasnya hujan ini.
Jika saja hatiku tertutup oleh keindahan dunia layaknya milikmu. Mungkin saja aku lebih memilah sosok orang yang paling aku pilih.
Sayangnya!? Itu hanyalah lantunan JIKA yang hanya mengandung rasa penyesalan! Sama seperti yang kau rasakan, Bukan!? Sungguh memang hatiku tak sanggup. Air hujan yang menetes ini mewakili tetesan air mata. Kenangan tentang bagaimana Tuhan menciptakan perasaan ini hingga terbentuk, sangatlah sempurna. Aku sungguh sangat tak kuasa.
Biarkan kenangan ini terbawa oleh derasnya air hujan. Biarkan hujan menggeruskan kenangan cerita hingga tak tersisa. Dan biarkan aku menikmati kesendirianku kala hujan tiba.



Daydreaming Before I Meet You
Cerpen Karangan: Afief Rahmat Hudiyawan
Kategori: 
Cerpen Sastra

Aku tak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiranmu. Selama pertanyaan itu masih ada dalam benakku. Segelas kopi yang sedari tadi membisu, di sebuah teras baru di sebuah Stasiun Kota Baru. Sembari menunggu kereta yang terlambat sudah setengah jam yang lalu.
Stasiun itu ramai, kursi tunggu telah penuh dengan orang orang yang telah menungggu, keterlambatan kereta memang sedikit mengganggu. Terlihat taman yang masih baru, menawarkan sedikit tempat untuk termangu. Hanya penjaja kopi instan yang masih semangat merayu, tentu saja aku memesan satu, membunuh waktu.
Rindang memang menawarkan teduh kenyamanan, dari terik yang merindu hujan, yang terakhir basah dua minggu yang lalu. Langit cerah membiru, awan putih hanya terlihat di langit bagian barat kota itu. Mereka hanya terlihat mengitari gugusan gunung, di dataran tinggi kota Batu, di balik gedung gedung kampus biru.
Kopi instan yang tadi panas kini berubah dingin, bunyi khas stasiun pertanda datangnya kereta telah menggema, gerbong nomor 3, di tempat duduk nomor 8A, tepat di samping jendela. Kopi yang belum terjamin kenikmatanya pun tertinggal dengan tergesa, sisa setengah gelas, tanpa ada niatan untuk menghabiskannya.
Tujuanku bukan Swedia, walaupun ada mimpi untuk kesana, masih ada langkah langkah lain sebelum aku kesana. Tujuanku kali ini ke Kotamu, bukan untuk bertemu denganmu, sekedar berada disana untuk merasakan suasana dimana kau berada, di tempat kau terlihat bahagia. Walaupun ada setitik rasa untuk bertemu, melepas rindu, sembari bercerita tentang masa lalu ketika pertama kalinya kita bertemu, 7 tahun yang lalu.
Aku belum siap untuk berjumpa denganmu, tentu saja kau pasti tersenyum ketika bertemu denganku, seperti biasanya ketika kita saling bertemu. Setidaknya biarkan aku bersiap dahulu, agar senyuman itu tak hanya muncul ketika kita bertemu, senyuman itu selalu muncul ketika rasa terima kasihku terucap ketika sarapan pagi telah siap di hadapanku.



Kado Perpisahan
Cerpen Karangan: Al-yusuf
Kategori:  
Cerpen Sastra

Lugu, perempuan berambut pirang dengan senyum yang menawan. Langkah anggun yang perlahan mendekati, seakan menambah aura kecantikan yang terpancar darinya.
“Lama hal(pertemuan) ini kunanti” bisiknya di telinga sebelah kanan.
Lembut tangan itu terus menari dari pipi sampai pundak dan berhenti di pundak kiri.
“Siapa kamu?” terurai kata tanya dari bibir yang bergetar kencang. Telan ludah seolah naik turun dalam tenggorokan.
“Aku?” Senyum manis itu mengiringi jawaban, seraya menunduk.
“Aku perempuan yang selama ini di sampingmu, aku yang selama ini merasakan pait manis kehidupanmu, tapi kamu tak pernah peduli”
Linang airmata terlihat dari mata bulatnya.
“Aku tak pernah mengenalmu, aku gak pernah tau siapa kamu. Saat rasa sedih datang, aku tak pernah merasa ada satu orang pun yang tau betapa berat, pahitnya kehidupanku. Kecuali Tuhan, karena hanya padanyalah kutuangkan keluh kesah kehidupanku lewat doa dalam sujudku” Mundur beberapa langkah dari hadapannya.
Dia menangis, terisak menahan sedihnya.
Selang beberapa waktu setelah pertemuan itu, ia datang kembali dengan senyuman. Wajah cerah dan ceria.
“Hai” sapa manja itu terdengar lebih indah dan berkesan.
“iya” jawab lembut menyambut kedatangannya.
“jujur aku gak sanggup jauh dari kehidupanmu, tapi aku tau ada dan tidaknya aku di sampingmu itu tak merubah keadaanmu. Dan sekarang tiba saatnya aku untuk pergi” terlihat senyum itu semakin melebar seolah ia bahagia dengan apa yang ia ucapkan.
Dari tangan kanannya yang sedari tadi sembunyi di balik indah gaunnya.
“Ini buat kamu” Menyodorkan bingkisan seperti kado, yang dibalut kertas warna merah, dengan hiasan bulat bulat hitam di setiap sudutnya.
Antara senang dan sedih, layu tangan menyambut lembut.
Perlahan langkah kaki itu terdengar menjauh dan hilang dari telinga yang kala itu masih terpaku menatap bingkisan di tangan.
Belum sempat membukanya, teriakan dan tawa teman-temanku yang terhanyut dalam mimpi.



Aku dan Segala-Galanya di Hidupku
Cerpen Karangan: Ilean Febiola


Perlahan aku berjalan menaiki jalan setapak menuju sebuah danau, bau tanah dari rintik hujan menemaniku menjelajahi petualangan tersebut.. Aku tersenyum melihat sesosok pria telah menungguku. Aku mempercepat langkahku, mencoba menghadapi lebih cepat, tak peduli hujan yang semakin deras, dan beceknya tanah khas pedesaan mengotori rok panjang putihku..
“Dor~!! Hayo?, ngelamunin aku ya?” ujarku berniat mengagetkannya. “Kamu kok telat banget sih? Tuhkan udah tambah gelap. Lilinnya udah mati semua… terkena air hujan tuh!” jawabnya sambil menatap terus kearah lilin-lilin kecil yang telah padam terkena air hujan. “Lilin berwarna merah, warna kesukaanku”, kataku sambil terus memandangi kearah lilin-lilin kecil yang beberapa telah ditatanya sedemikian rupa membentuk hati, “ya memang lilin-lilin itu sangat indah”.
Aku melihatnya sekilas sebelum mati satu persatu. Namun, menurutku, lebih indah melihat senyumannya daripada lilin yang telah padam tersebut. Jauh lebih nyata dan indah.. “Aneh ya? tadi tuh di sekolah panas banget! Sekarang disini hujan..” ujarku memperbaiki suasana.. “Haha, matahari sama hujan kan kuatan matahari..” jawabnya tersenyum, “Kamu lama ya nunggunya? Aku minta maaf banget!” Kataku memohon, “Nggak kok.. baru aja.. aku cuma bercanda tadi” katanya sambil terus tersenyum..
“Maaf ya kemarin aku gak bisa temani kamu check up ke dokter, aku ada pelajaran tambahan, gimana kata dokter?” tanyaku dengan lembut namun dengan nada khawatir. “Nggak apa-apa kok.. Aku baik-baik saja, aku akan selalu baik-baik saja kalau bertemu sama kamu” ujarnya sekali lagi dengan senyuman jahil khasnya.. “Ya maunya”.. yah aku tau keadaannya.. Dia kuat di luar namun rapuh di dalam.. Entah apa yang membuatnya selalu tegar menghadapi cobaan tersebut. Seolah kehabisan kata-kata kita hanya terdiam.
Sore itu, aku dan kekasihku Justin, mengunjungi danau favorit kami.. tempat dimana kami pertama bertemu, berkenalan, bahkan mengerjakan segala hal bersama-sama. Danau Abadi. Ya begitulah Justin menamakan Danau itu. Memang terdengar aneh, berapa kali aku menanyakan mengapa dia menamakan seperti itu, dan Justin menjawab “Agar nanti saat aku tak ada lagi kamu tetap ada mengenangku di masa-masa dimana awal kita bertemu, sampai saat ini”
Sekali lagi dia menjawabnya dengar senyuman jahil khasnya, “Kamu pernah nyadar gak ada sesuatu di danau ini?” tanyanya kepadaku, “Nyadar apaan? perasaan selama 4 tahun kita pacaran keadaan danau ini baik-baik aja deh..” kataku, “Dasar gak peka! Itu lho.. berang-berangnya!.. Aneh aja, masa musim panas gini main di danau..” jelasnya, “Apanya yang aneh? perasaan dari dulu deh kayak gitu..” ujarku nggak ngerti.. “Bukan itu maksudku.. mereka itukan sepasang dari dulu.. aku perhatiin mereka itu saling setia rasanya.. mereka gak pernah ganti pasangan.. Kamu mau nggak, kalau aku udah nggak ada nanti, kamu mau kan cari orang lain buat jagain kamu? yang lebih sehat dan gak sakit-sakitan?: pertanyaannya membuat ku tereguh..
“Aku gak pernah berfikiran hal itu..” batinmu.. “Dulu, Justin itu optimis, tegar, kemana Justin yang dulu?” tanyaku kepada Justin, “Sebentar aku belum selesai.. aku hanya berjaga-jaga.. Nanti kalau aku sudah tidak ada, supaya kamu tak ragu untuk mencari penggantiku..” Jelasnya dengan nada lirih.. “Justin.. kamu harus optimis. Coba lihat matahari itu, Dia memang selalu terbit dan terbenam tiap hari.. Ibaratkan matahari itu kamu, itu tandanya kalau ada terang kan setelah gelap! Pasti ada harapan buat kamu, sekecil apa pun itu!” Ujarku, “Aku gak akan baik-baik saja.. tetapi aku akan selalu berusaha baik untukmu..” ujarnya kepadaku, akupun meneteskan beberapa butir air mata yang tak kuat ku tampung lagi, segera ku hapus sebelum dia melihatnya.. “Aku akan selalu menyanyangimu..” kataku yang segera memeluknya, “Danau ini abadi, berang-berang ini abadi, begitu juga cinta aku ke padamu akan selalu abadi.. Carilah seseorang yang lebih baik dariku suatu saat nanti..” katanya seraya menghapus air mata dari pelupuk mataku.. Air bening yang keluar dari pelupuk mataku sudah tak kuat ku bendung..
“Hey! Sedang apa?” Kata Danny, menepuk bahuku, “Hah? Tidak.. Aku hanya sedang ingin mengingat kenangan ini.. dari diaryku..”, “Itu lagi? Kisah cintamu.. kekasihmu yang sudah meninggalkanmu.. dan segala-galanya dalam hidupmu.. akan abadi seperti danau ini.. tegarlah.. sudah 2 tahun kau seperti ini.. bangkit dan semangat!” kata Danny, sahabat terbaikku.. “Ya.. aku dan segala-galanya dalam hidupku akan abadi seperti danau ini..”
Jauhkan Ukiranmu Dari Cawanku
Cerpen Karangan: Syuhrilaeni
Kategori: 
Cerpen Sastra

Dan tepatnya butuh waktu kurang lebih setahun untuk aku utuhkan kembali hatiku yang hancur lebur berkeping bagai hamparan debu. Ya, walaupun kini bekas kepingannya masih nampak begitu nyata dalam cawan hati ini, namun itu lebih baik dibandingkan kepingannya aku biarkan bertabur dan terhambur di atas ruang yang hampa. Cawan itu memang seolah nampak berdiri kokoh, seakan tak pernah mengalami kehancuran. Cawan itu juga nampak dalam kondisi yang sangat baik dan anggun pula. Namun sayang keindahan yang dimiliki cawan itu hanya terlihat dan nampak mempesonakan jika dilihat dari jarak yang jauh. Beda halnya saat kita memperhatikan dengan seksama kondisi sebenarnya. Aduhai malang nian nasib sang cawan itu, dia dipenuhi dengan bekas keretakan di seluruh sisinya. Bagaimanapun sang cawan berusaha mempesonakan keanggunannya dia tetap tak bisa menyembunyikan bekas luka pasca keleburannya yang terhampar bak desiran debu itu.
Kini, Aku merawat cawan itu dengan penuh kehati-hatian. Aku tak ingin cawan itu kembali merasakan kehancuran yang berlebur. Aku tahu cawan itu kini mengalami kehampaan yang sangat dalam. Sedari cawan itu tak pernah merasakan ketenangan pasca kehancurannya. Dia masih saja dirias dengan ukiran yang gamang dari sang pemburu yang tidak lain adalah pemiliknya dulu. Entah apa yang diinginkan oleh pemburu cawan itu, dia membesut cawan itu lalu menghilang dengan sendirinya. Entah sampai kapan aku sanggup menahan kegundahan cawan itu. Sempat terbesit dalam anganku untuk menerima sang pemburu baru yang siap membantuku untuk menjaga cawan itu. Namun, aduhai aku masih begitu takut dan trauma untuk menerima kehadiran pemburu baru.
Ah, biarlah kini aku merawat cawan itu sendiri saja. Akupun harus terbiasa dengan kehadiran sang pemburu yang pernah jadi pemilik cawan itu secara tiba-tiba. Ah, semua ini ibarat kata aku telah bersusah payah menjaga, mengutuhkan kembali cawan itu dalam bentuk yang baru tanpa ada ukiran dari sang pemburu lagi, namun dia dengan mudahnya mengukir kembali kegundahan yang sempat hilang dari sisi cawan itu. Butuh waktu setahun untuk aku memoles keretakan cawan itu, dan untuk sang pemburu dia hanya butuh waktu sedetik memeras cawan itu dan kembali lebur lagi. Duhai sang pemburu jangan hidupkan kembali ukiran yang pernah kau lukiskan di sisi cawanku.

Jauhkan Ukiranmu Dari Cawanku
Cerpen Karangan: Syuhrilaeni
Kategori: 
Cerpen Sastra

Dan tepatnya butuh waktu kurang lebih setahun untuk aku utuhkan kembali hatiku yang hancur lebur berkeping bagai hamparan debu. Ya, walaupun kini bekas kepingannya masih nampak begitu nyata dalam cawan hati ini, namun itu lebih baik dibandingkan kepingannya aku biarkan bertabur dan terhambur di atas ruang yang hampa. Cawan itu memang seolah nampak berdiri kokoh, seakan tak pernah mengalami kehancuran. Cawan itu juga nampak dalam kondisi yang sangat baik dan anggun pula. Namun sayang keindahan yang dimiliki cawan itu hanya terlihat dan nampak mempesonakan jika dilihat dari jarak yang jauh. Beda halnya saat kita memperhatikan dengan seksama kondisi sebenarnya. Aduhai malang nian nasib sang cawan itu, dia dipenuhi dengan bekas keretakan di seluruh sisinya. Bagaimanapun sang cawan berusaha mempesonakan keanggunannya dia tetap tak bisa menyembunyikan bekas luka pasca keleburannya yang terhampar bak desiran debu itu.
Kini, Aku merawat cawan itu dengan penuh kehati-hatian. Aku tak ingin cawan itu kembali merasakan kehancuran yang berlebur. Aku tahu cawan itu kini mengalami kehampaan yang sangat dalam. Sedari cawan itu tak pernah merasakan ketenangan pasca kehancurannya. Dia masih saja dirias dengan ukiran yang gamang dari sang pemburu yang tidak lain adalah pemiliknya dulu. Entah apa yang diinginkan oleh pemburu cawan itu, dia membesut cawan itu lalu menghilang dengan sendirinya. Entah sampai kapan aku sanggup menahan kegundahan cawan itu. Sempat terbesit dalam anganku untuk menerima sang pemburu baru yang siap membantuku untuk menjaga cawan itu. Namun, aduhai aku masih begitu takut dan trauma untuk menerima kehadiran pemburu baru.
Ah, biarlah kini aku merawat cawan itu sendiri saja. Akupun harus terbiasa dengan kehadiran sang pemburu yang pernah jadi pemilik cawan itu secara tiba-tiba. Ah, semua ini ibarat kata aku telah bersusah payah menjaga, mengutuhkan kembali cawan itu dalam bentuk yang baru tanpa ada ukiran dari sang pemburu lagi, namun dia dengan mudahnya mengukir kembali kegundahan yang sempat hilang dari sisi cawan itu. Butuh waktu setahun untuk aku memoles keretakan cawan itu, dan untuk sang pemburu dia hanya butuh waktu sedetik memeras cawan itu dan kembali lebur lagi. Duhai sang pemburu jangan hidupkan kembali ukiran yang pernah kau lukiskan di sisi cawanku.



Wanita Mentari
Cerpen Karangan: Niny Mahruz Bella
Kategori: 
Cerpen Sastra

Rona warna gelap
Muncul di balik utara
Menerawamg seberapa digit dalam kegelisahan…
Aku terpenjara dalam kekuasaan waktu
Mengapa begini?
Terperangkap dalam mendung
Terbang dalam pelangi
Meniti cinta abadi,
Wanita mendung itu menerawang di balik jendela rapuh, kini ia dalam jeratan kesedihan yang mendalam. Ia menyapa pagi dengan kelam, menanti malam yang cepat datang. Penuh harap kasih.
Adler, itulah sapaannya sejak memasuki dunia nyata dulu, beberapa kala itu. Adler menjalani dengan indah, tak ada yang mengalahkan dunianya.
Perjalanan yang tidak ada batas jejaknya, tak ada pemberhentian, tak ada kata lelah. Sungguh sangat indah menikmati sisi dunia yang satu ke sisi dunia yang lain, dari barat hingga timur, bahkan dari utara ke selatan. Menanti hidup yang tanpa ujung.
Simfoni kisah dahulu kini hanya serpihan dari keelokan hidup. Ia kini hanya wanita sebatang kara yang duduk di balik jendela menanti keajaiban datang tak terduga. Menanti..
Ia terpuruk sejak kisah baru yang sangat melekat tak terlepas dari jaln kehidupannya. Suatu kisah yang tak ada tandingannya. Tertinggal oleh zaman yang hanya titik duri yang menghentikan semuanya. Pupus
Namun, kini kisah itu menjadi sebuah mimpi buruk yang benar-benar terjadi di kenyataan hidup. Saat terngiang “Adler, ingatlah nanda aku dan ayahmu harus menjejaki dunia di sisi lain, aku harus ke sisi kanan dunia ini. Kan kutunggu dirimu nanda, selamat tinggal”. Inilah sepenggal kata yang menyayat hati, bahkan menjadi kisah awal Adler menjadi WANITA MENDUNG.
“WANITA PELANGI”. Dengan senyuman, kicauan suara nan indah, mentari pagi, bersama menyambut kisah. Menerawang dengan indah dengan bola mata birunya yang tak tertandingi. Dulu.
Wanita mendung. Ini masa ku, hanya sebuah kata yang tersirat maknanya dan lagi-lagi menambah sendu di dada. Bahkan deretan huruf itu menjadi awal kisah perjalanan Adler selanjutnya.
Rangkaian kisah-kasih yang terkristal itu. Hanya akan jadi rona gelap baginya, namun mengapa begini?. rona gelap itu menghadirkan bola mentari yang rasakan jauh dalam rotasi kehidupan.
Kini wanita mendung terurai oleh bola mentari dan menjadikan Adler wanita mentari yang menghias pagi sang alam semesta.



Andai
Cerpen Karangan: J. Rasta
Kategori: 
Cerpen Fantasi (Fiksi)Cerpen Sastra

Di malam yang berakabut tebal, tubuhku terbujur kaku di atas kasur apak. Tidak ada lagi kehidupan yang bisa aku perjuangkan. Hanya lentera kecil di sudut kamar yang setiap kali mengingatkanku pada sebuah penyesalan, penyesalan yang mungkin tak terlupakan hingga ku di alam baka. Sahut marut celoteh keluarga dan kerabat yang biasa melebarkan sejengkal rasa gembira, kini pupus ditelan tuli kegelapan hati.
Andai detik ini tak tertulis sebuah takdir di laul mahfud, akan kupinjam pena dari genggaman malaikat tak bersayap. Tintanya yang hitam berkilau bagai mutiara papua menetes kental di atas kertas kosong. kertas kosong yang terbang tak memiliki arah tujuan untuk berhenti di suatu tempat.
Tubuhku semakin melemah karena penyakit yang tak jelas dari mana asal dan penyebabnya, hanya bisa menuding layaknya lalat hijau yang menebar penyakit di setiap lingkungan yang ia hinggapi.
Dari perjalanan kisah aku dipaksa marantau hingga tak kenal lelah. tapi, semua telah hilang menjadi harapan fatamorgana. kini penguasa alam telah memanggil salah satu kelengkapan jasadku. ia memberi pena yang lebih istimewa. pena yang bertintakan jutaan warna. Ia perintahkan diriku yang tiba-tiba segar bugar, layaknya waktu ia rubah seperti sekian masa. masa dimana bujang priangan masih meraja lela di atas gelapnya dunia karena perpecahan negara. ia perintahkan aku tuk tulis “Andai” di kertas yang kotor dan penuh coretan tangan mungil.



Bah Kehidupan
Cerpen Karangan: Eveline Ramadhini
Kategori: 
Cerpen LingkunganCerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 6 December 2014
Hujan datang lagi. Beribu tetes jatuh setiap detiknya. Menapaki bumi sepanjang hari, seolah tak pernah lelah dengan keadaan ini. Menerjunkan diri ke berbagai belahan bumi. Mulai dari kubangan kerbau, resapan tanah, hingga ke muara laut, semua dilakoni.
Di dalam sebuah pertemuan, pada suatu pagi yang dingin.
“Aku datang untuk mengajarkanmu bahwa hidup adalah perputaran. Kau harus percaya itu,”
Ucap hujan kepadaku yang sedang setengah limbung.
“Aku berpetualang sampai ke negeri manapun, lalu dapat pula kembali kesini lagi. Karena apa? Karena aku punya harapan,”
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Kali ini aku ling lung.
“Mengikuti arus Ciliwung, lalu menerjunkan diri ke Niagara, lantas juga membekukan diri di Antartika,”
Aku mulai terkesima. Sepertinya aku mulai dapat mengerti perkataannya.
Dengan wajah sok lugu, aku berkata “Lalu kenapa sekarang kau menjadi bah di Ibukota? Coba jelaskan padaku dengan serta-merta!”
Ia terdiam sebentar, lalu tertawa sejadi-jadinya. Aku diam. Tertawa pun enggan. Apakah itu lucu? Memang perangainya aneh. Ia masih terbahak. Cukup lama.
“Kau tahu kenapa sebabnya? Kau tahu!” Ia menggelegar seperti malaikat pencabut nyawa. Aku ingin menarik perkataanku tadi. Bodoh! Mengapa aku menanyakan pertanyaan retoris macam itu?
“Manusia memanglah bodoh! Aku datang untuk menunjukkan padamu, bahwa hidupmu tak selalu indah. Bahwa keindahan hidupmu seringkali pudar karena ulahmu sendiri!”
Aku dikeroyok perasaan bersalah. Rasanya ingin menghilang ‘tring’ dari hadapannya. Tapi sayangnya belum ada teknologi teleportasi macam itu. Ah, sial!
Tiba-tiba, pintu tak terkunci itu terketuk. Aku tak tahu siapa yang hendak datang. Berharap ada yang segera mengevakuasiku dari keadaan darurat ini.
Sang sampah datang. Aku kaget bukan kepalang. Dengan pakaian lusuhnya, ia melangkahkan diri tanpa pura-pura. Para ajudannya menyertai, lalat dan belatung. Baunya menusuk hidung, aku jadi makin murung.
“Jawab! Kenapa kau diam?” Sang sampah menggebrak meja. Jiwaku jadi luluh-lantah. Rasanya ingin hilang ke negeri antah berantah. Aku digandrungi mereka berdua, rasanya ingin muntah.
“Aku… A-a-ku…”
Hujan datang lagi. Menghanyutkan jejak-jejak kenangan. Kulihat televisi, katanya “Banjir Mengepung Ibukota”. Kulihat koran, katanya “Air Bah Lumpuhkan Jakarta”. Aku meneguk segelas teh panas. Melakoni lagi hidup ini, sebagai penyaksi antara hidup yang penuh sensasi-ilusi.



Awan Hitam
Cerpen Karangan: Jenner Man
Kategori: 
Cerpen Sastra

Langkahku terbawa ke bibir pantai ini. Seperti hari-hari yang lalu, aku akan ada disini saat hati sedang bergelayut gundah. Laut adalah tempatku bercerita. Di atas sebatang nyiur yang tumbang aku duduk menikmati mega. Terpaan dingin angin barat di senja ini kian melarutkan lamunanku. Sejak aku sampai disini mataku tak lepas dari arakan awan hitam di langit atasku. Gumpalan awan yang begitu tebal, menutupi mentari sore melepas sinarnya. Hingga membuat semburat jingga di ujung barat mewarnai langit biru.
Mata dan hatiku sedang menyaksikan sang mentari menjadi tak leluasa melepas sinarnya. Mentari menjadi tak lega membagi cerahnya. Mentari menjadi tak senyum memberi cahaya. Mentari menjadi terkekang untuk mengayun langkahnya. Mentari menjadi terbelenggu untuk menebar asa dan hasratnya.
Lamunanku jauh menembus langit tak bertepi tinggalkan hati yang kini gundah. Mataku tak jua berkedip menerawang, walau terhalang awan hitam yang enggan beranjak. Aku tak menyukainya. Ingin rasanya angin barat berhembus kencang hamburkan gumpalannya agar sang mentari kembali cerah tebarkan terang. Karenamu jagad jadi gelap. Karenamu burung-burung jadi tak bergairah. Karenamu laut jadi tak bercahaya. Karenamu udara jadi tak hangat.
Angin sore kian terasa dingin menyengat kulitku. Hasrat mentari memberi sinarnya masih tetap kuat menembus tebal awan hitam. Di langit kulihat garis-garis tegas sinar terangnya melurus ke kaki bumi. Mencerai beraikan awan hitam dengan putih bersih cahayanya. Tapi tubuhku kian dingin oleh desiran angin pantai di ujung senja ini. Aku beranjak meninggalkan laut di hadapanku. Melangkah gontai memeluk diri kuatkan hati. Burung-burung pun kulihat mulai bergegas kembali ke sarangnya dengan sesekali bunyikan kicau indahnya, mengikuti langkah kakiku. Angin pun kini semakin deras menerpa, melambaikan semua dedaunan ke arah kembaliku. Semua mengiringi langkahku untuk pergi dari sini. Namun semua tak bergairah, terlarut dalam rasa tak berpunya. Kepak sayap burung tak sigap berirama. Lambaian daun tak meliuk indah menari.
Aku teringat dia dalam ayunan langkahku. Semua tentangnya, di semua rasa ini. Di semua asa ini, agar dia senantiasa berada dalam segala kebaikan dan biarlah semua yang terbaik menjadi miliknya, hanya untuknya.
Dalam seretan berat langkahku, mataku menatap sendu ke langit di atasku. Awan hitam akhirnya berarak jua dibawa angin, beranjak pergi mengikuti langkahku. Ia ada di atasku saat aku pergi meninggalkan tempat ini. Dan perlahan mentari pun kembali tebarkan sinar terangnya di sore ini. Di hangat cerah dan cemerlangnya beri cahaya pada seisi alam, tinggalkan siang menyambut malam dalam rona dan rasa bahagia. Awan hitam pergi terbawa angin berganti senyum mentari yang putih bercahaya, saat jejak hadirku kian sirna terhapus air pantai.
Agar segala yang terbaik menjadi milikmu, hanya untukmu. Demi bahagiamu.
                                                          
UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN DOWNLOAD FILE DOCXNYA DI SINI                                                        

0 Response to "Kumpulan Cerpen Sastra"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel